Penyebaran cabai di dunia dimulai dari peristiwa penemuan sisa biji cabai. Para arkeolog di Ekuador, Amerika Selatan, berhasil menemukan sisa biji cabai yang menempel pada lesung dan panci masak milik penduduk Indian Kuno. Penemuan ini menjadi pertanda cabai sudah digunakan sebagai bumbu masak sejak 7000 tahun lalu.
Gambar 1. Cabai Merah
Pada 7500 SM, Suku Aztec menggunakan cabai tua sebagai sajian istimewa yang dihidangkan kepada kepala suku. Pada 5200–3400 SM, masyarakat Indian Aztec sudah mulai membudidayakan komoditas ini, dalam bahasa mereka disebut dengan chee-yee. Budidaya dilakukan dengan cara cangkok atau setek. Selanjutnya, hasil panen disebarluaskan ke seluruh Benua Amerika dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia.
Penyebaran Mendunia
Penyebaran cabai di dunia dimulai saat Christopher Columbus melakukan ekspedisi pada 1490. Saat mendarat di daerah Guanahani atau sekarang dikenal dengan San Salvador, Columbus menemukan cabai. Dari penemuan tersebut, komoditas yang menimbulkan sensasi pedas mulai menyebar ke Amerika Tengah, penyebaran tersebut diduga ada peran dari penduduk Indian asli.
Di Indonesia, cabai mulai dikenal oleh masyarakat pada abad ke-15 hingga ke-16. Saat itu komoditas tersebut dibawa oleh penjajah Portugis pada 1522. Kala itu penjajah Protugis mengirim kapal ke pelabuhan yang memuat barang-barang berharga. Barang tersebut akan dipersembahkan kepada Raja Sunda. Kemungkinan di antara barang-barang tersebut ada benih cabai yang dianggap sebagai tanaman rempah.
Pada 1527, Kesultanan Demak mengusir Portugis sehingga mereka pindah ke Maluku. Di daerah jajahan barunya, bangsa Portugis masih berusaha memperkenalkan komoditas ini.
Budidaya cabai mulai berkembang pesat di abad ke-19, ketika VOC telah diambil alih oleh Pemerintah Belanda di Eropa. Sejak saat itu, cabai mulai menjadi komoditas yang berpotensial. Pada 1918 tercatat ribuan kilogram cabai dikirim dari Pelabuhan Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya menuju Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Kalimantan.