Tidak banyak orang yang tahu bahwa meski memiliki gelar doktor, saya sesungguhnya tidak memiliki gelar master. Jadi gelar saya cukup dua saja karena nama saya sudah terlalu panjang untuk mengakomodasi gelar lain (*sepertinya halah banget tapi memang iya nama saya panjang). Tidak adanya gelar master ini pula yang dulu menjadi salah satu pemicu semangat saya untuk menyelesaikan studi S3, karena jika tidak, tombol resetnya akan mengembalikan saya pada titik lulusan S1.
Program yang saya ikuti ini disebut dengan fast track program atau accelerated program. Istilah sederhananya: kelas aksel di perguruan tinggi. Tujuannya sama, yaitu mempercepat masa studi. Masa studi standar untuk berbagai jenjang di perguruan tinggi adalah S1 4 tahun, S2 2 tahun, S3 3-7 tahun. Dengan fast track program atau program percepatan, mahasiswa dapat mendapatkan 2 gelar sekaligus dalam waktu yang lebih pendek. Program percepatan ini bisa dilakukan untuk S1-S2, S2-S3, dan S1-S3. Percepatan S1-S2 artinya mahasiswa dapat menyelesaikan dua jenjang program ini dalam waktu 5 tahun saja, dibanding dengan 6 tahun jika mengambil jalur biasa. Percepatan S2-S3 tergolong jarang ditawarkan, yang biasanya meliputi masa studi setahun di jenjang master kemudian meneruskan ke S3. Mengapa jarang ditawarkan? Di beberapa negara, program master dapat diselesaikan dalam waktu 1 tahun alih-alih 2 tahun, sehingga program percepatan S2-S3 kurang menjual dari segi memperpendek masa studi, selain itu program percepatan S1-S3 juga tersedia. Nah, S1-S3 seringkali disebut dengan jumping program, karena sepenuhnya melewatkan S2.
Karena memperpendek masa studi, dampak dari percepatan program untuk mahasiswa adalah berkurangnya biaya yang harus dikeluarkan. Meski memang masih bisa diperdebatkan karena bisa jadi biaya programnya berbeda dari standar, memotong masa studi hingga 1-2 tahun biasanya berpengaruh pada pengeluaran biaya studi. Ini terutama karena biaya studi master dan doktoral cenderung memiliki perbedaan yang signifikan dengan biaya studi S1. Jika biaya per semester untuk S2 bisa mencapai 15-25 juta, maka dengan menghemat setahun, 30-50 juta bisa disimpan. Belum lagi terkait biaya hidup selama kuliah.
Keuntungan lainnya adalah bisa memasuki dunia kerja sedikit lebih cepat dibanding yang lainnya. Dengan mengambil program percepatan S1-S2, misalnya, seorang mahasiswa dapat lulus di usia 23 tahun dengan gelar sarjana dan master (dengan asumsi masuk kuliah di usia 18 tahun). Sementara yang lainnya mungkin baru saja lulus S1 di usia yang sama, memiliki gelar lebih tinggi bisa jadi merupakan daya jual dan bargaining position yang menguntungkan. Dengan cara ini pula, mereka yang mengambil program percepatan S1-S3 bisa mendapatkan gelar doktor sebelum usia 30 tahun.
Untuk percepatan S1-S3, mahasiswa yang sudah mendapatkan gelar S1 bisa langsung melamar untuk program S3 tanpa harus memiliki gelar master. Karena prosesnya melompat, program percepatan ini biasanya mensyaratkan rekam jejak studi S1 yang luar biasa (outstanding atau superior) atau potensi riset yang menonjol. Mengapa potensi riset? Studi S3 selalu disertai dengan penelitian yang spesifik, karenanya universitas atau calon pembimbing mencari mereka yang dinilai bisa menjalankan riset selama jenjang waktu yang cukup lama. Sehubungan dengan itu, proposal penelitia juga menjadi salah satu syarat ketika ingin mengajukan aplikasi program percepatan S1-S3, misalnya ketika saya melamar ke School of Civil and Environmental Engineering Nanyang Technological University, Singapura. Pun ketika sudah berada di program percepatan ini, terutama S1-S3, gelar yang tertinggi tak serta merta dipastikan akan didapat. Sama halnya dengan persyaratan kelulusan untuk masing-masing jenjang, tidak memenuhi satu saja di antaranya bisa menyebabkan mahasiswa hanya mendapatkan satu gelar saja, atau jika dalam kasus S1-S3, “diturunkan” menjadi hanya mendapat gelar master alih-alih doktor.
Di Indonesia sendiri, praktik percepatan ini sudah cukup banyak dikenal, terutama untuk S1-S2 (misalnya fast track program di ITB) karena ada keputusan menteri yang mendukungnya. Untuk percepatan S1-S3 sendiri sepertinya belum ada karena secara legal belum diatur (tolong saya dikoreksi bila salah ya). Mereka yang ingin mengambil jalur ini biasanya menyelesaikan S1 di Indonesia untuk kemudian mengambil langsung program S3 di luar negeri. Aturannya pun berbeda-beda di tiap negara. Taiwan misalnya, hanya memperbolehkan jumping bagi mereka yang kuliah S1 dan S3-nya di universitas yang sama. Saya yang tidak memenuhi kualifikasi ini, harus menjalani matrikulasi setahun untuk kemudian mengajukan diri mempercepat studi saya ke jenjang S3.
Jadi iya, punya gelar S3 sebelum usia 30 itu sebenarnya normal. Dengan jalur standar saja, bila dilakukan tanpa henti, gelar doktor bisa didapat di usia 27 tahun (S1 4 tahun, S2 2 tahun, S3 3 tahun, dengan asumsi masuk kuliah S1 di usia 18 tahun). Apalagi kalau jalur cepat.
Sumber : https://www.kompasiana.com/citraningrum/555014cf0523bd9e1907d70f/jalur-cepat-jadi-doktor