Gulma secara sederhana didefinisikan sebagai tanaman yang tumbuh di lokasi yang tidak diinginkan. Setidaknya terdapat 7.000 lebih spesies gulma yang telah diidentifikasi, namun hanya sekitar tiga ratus spesies yang dilaporkan mengganggu tanaman pertanian (Vyvyan, 2002). . Kerugian yang diakibatkan oleh gulma diantaranya yaitu persaingan nutrisi, inang bagi hama penyakit, dan dapat mengurangi kualitas serta produktivitas tanaman. Gray dan Hew (1968) dalam Purba, (2009) menyebutkan bahwa gulma Mikania micrantha dapat menyebabkan kehilangan hasil kelapa sawit 20% selama 5 tahun.
Saat ini kebutuhan dan penggunaan herbisida kimia sintetis untuk mengendalikan gulma sangat tinggi. Penggunaan herbisida sintetis secara terus menerus dapat berakibat negatif bagi lingkungan seperti pencemaran lingkungan dan sumber air, serta kerusakan tanah, (Kurniawan, dkk. 2014). Selain itu herbisida sintetis mengakibatkan keracunan pada organisme non target dan mempengaruhi aktifitas biota tanah serta dapat meninggalkan residu herbisida pada produk pertanian. Dalam rangka mendukung gerakan pertanian organik di Indonesia, diperlukan herbisida alami (bioherbisida) yang efektif yang dapat menekan pertumbuhan gulma. Singh et. al. (2003) menjelaskan bahwa senyawa alelopati dari tumbuhan atau mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioherbisida sekaligus memberikan peran yang positif bagi kelestarian lingkungan.
Alelopati merupakan mekanisme interaksi langsung atau tidak langsung antara tumbuhan sebagai donor dengan tumbuhan atau mikroorganisme sebagai target, melalui produksi dan pelepasan metabolit sekunder yang disebut alelokimia. Tumbuhan menghasilkan senyawa alelokimia seperti fenol, tanin, alkaloid, saponin, terpenoid, flavonoid, dan asam kumarat. Senyawa tersebut dilaporkan memiliki sifat herbisida, seperti mampu menghambat pembelahan sel dan menurunkan laju fotosintesis tanaman lain (Chen et al. 2018). Batish et al. (2001) melaporkan 56 spesies tanaman bersifat alelopati terhadap gulma.
Tahun 1974, Rice dalam Junaidi, Chozin, dan Kim (2006) memberikan batasan mengenai alelopati sebagai keadaan merugikan yang dialami tumbuhan akibat tumbuhan atau mikroorganisme lain, melalui produksi senyawa kimia yang dilepaskan ke lingkungannya. Batasan ini kemudian terus diverifikasi dengan berbagai penelitian, hingga akhirnya para ahli sepakat bahwa Alelopati didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap yang lainnya, termasuk mikroorganisme, baik yang bersifat positif / perangsangan, maupun negatif / penghambatan terhadap pertumbuhan, melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya.
Mekanisme kerja senyawa alelopati antara lain berkaitan dengan sintesis asam amino (sintesis glutamina, aspartat aminotransferase), sintesis pigmen, fotosintesis, sintesis lipid, dan sintesa asam nukleat (RNA polymerase, adenosilsuksinat sintase, AMP deaminase, isoleusil-t-RNA sintase). Beberapa mekanisme tersebut tidak ditemui dalam mekanisme kerja herbisida sintetis, karena itu senyawa alelopati sangat memiliki prospek untuk dimanfaatkan sebagai herbisida.
Beberapa jenis senyawa alelopati yang cukup potensial antara lain berasal dari ekstrak tumbuhan Alang-alang (Imperata cylindrica), Akasia (Acacia mangium), dan Ketapang (Terminalia catappa). Penggunaan senyawa alelopati dari ketiga tumbuhan cukup prospektif karena relatif mudah didapat, murah dan dengan jumlah biomassa yang cukup memadai. Ekstrak tumbuhan ini bisa didapat dari semua bagian mulai dari akar, batang dan bagian lainnya.
Alang-alang
Gambar 1. Tanaman Alang-alang (Imperata cylindrica)
Tumbuhan alang-alang termasuk salah satu gulma yang dapat merugikan petani . Namun demikian, alang-alang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioherbisida yang cukup efektif dan potensial. Eksudat rhizoma alang-alang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan gulma daun lebar. Namun demikian, penggunaan ekstrak rhizoma alang-alang perlu dibatasi mengingat ekstrak alang-alang tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman semusim seperti lada dan cengkeh.
Akasia
Gambar 2. Tanaman Akasia (Acacia mangium)
Zat allelokimia yang berasal dari ekstrak Imperata cylindrica dan A. mangium dapat bekerja mengganggu proses fotosintesis atau proses pembelahan sel tumbuhan gulma. Penekanan pertumbuhan dan perkembangan karena ekstrak alang-alang dan akasia ditandai dengan penurunan tinggi tanaman, penurunan panjang akar, perubahan warna daun (Dari hijau normal menjadi kekuning-kuningan) serta bengkaknya akar.
Ketapang
Gambar 3. Tanaman Ketapang (Terminalia catappa)
Selama ini masyarakat hanya mengenal tanaman ketapang sebagai tanaman peneduh kota dan belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai ekonomisnya masih rendah. Kehadiran flavonoid, terpenoid, steroid, kuinon, tannin dan saponin pada ekstrak daun ketapang (Terminalia catappa) menunjukkan bahwa ketapang dapat menjadi alternatif herbisida nabati (bioherbisida). Ekstrak etanol daun ketapang konsentrasi 50% dapat menurunkan pertumbuhan rumput teki (Cyperus rotundus). Rumput teki termasuk kedalam tanaman liar yang sulit dibasmi karena menghasilkan umbi yang membuat tanaman ini sangat cepat beregenerasi.