Saat ini banyak pekebun yang mulai mengembangkan kakao organik. Pasalnya, permintaan kakao di pasar tergolong besar, tetapi ketersediaan komoditas ini masih terbatas. Tren budidaya kakao organik dianggap menguntungkan petani karena harga jual biji kakao jadi lebih tinggi.
Gambar 1. Tanaman Kakao Organik
Pekebun kakao organik di Kabupaten Pesawaran, Lampung, Tommy Setiono, berhasil mendapatkan omzet dari penjualan biji kakao minimal Rp315 juta sebulan. Harga jual akan meningkat bila biji dijual setelah difermentasi. Kini, Tommy tengah mengurus sertifikasi organik.
Sejalan dengan Tommy, praktikus kakao di Kaupaten Tabanan, Bali, Nyoman Suparman, S.P., tengah mengebunkan kakao organik pada lahan seluas 400 hektare. Nyoman sudah memiliki sertifikat organik dari SNI dan Eropa (Organic ACT-EU).
Berdasarkan pengalaman kedua pekebun tersebut, budidaya kakao organik juga menguntungkan untuk jangka panjang. Pasalnya, kualitas lingkungan budidaya menjadi lebih baik, terutama kondisi tanah yang digunakan sebagai media tanam.
Potensi kebun kakao organik lebih tinggi dibanding kebun konvensional. Nilai tambah dari kakao organik adalah sebagai produk sehat. Nilai tersebut menjadi optimal bila diolah menjadi berbagai produk olahan, seperti cokelat bubuk, cokelat batangan, kukis, aneka minuman, dan produk cokelat khusus untuk penderita diabetes melitus.
Pasar kakao organik saat ini masih dominan di dalam negeri. Namun, kini banyak produsen yang sudah menyasar pasar ekspor, seperti Korea Selatan dan Rusia.
Selain dikebunkan secara organik, kini banyak pekebun kakao yang melakukan budidaya pada lahan yang tidak begitu besar, yakni kurang dari 1 hektare. Seperti pekebun kakao di Ciamis, Jawa Barat, Yoseph Kurniawan, berhasil memanen 100 kg kakao kering hasil fermentasi dari kebunnya yang hanya seluas 1 hektare. Hasil panen tersebut dijual dengan harga Rp22.000 per kg. Petani memang lebih diuntungkan menjual biji kakao yang sudah difermentasi.
Kegiatan budidaya yang dilakukan oleh Yoseph disebut skala kecil karena pekebun hanya mengelola lahan seluas 0,5–2 hektare. Adapun skala besar dilakukan pada lahan seluas 100 hektare seperti yang dilakukan oleh perusahaan.