Perkebunan sawit rakyat bermula pada awal abad ke-20 di Indonesia, ketika Belanda masih menjajah. Pada saat itu, perkebunan sawit masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh Belanda dan Inggris. Namun, pada tahun 1911, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan penduduk pribumi untuk memiliki perkebunan sawit.
Pada tahun 1920-an, perkebunan sawit rakyat mulai berkembang pesat di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang memberikan bantuan kepada petani untuk membuka lahan dan membeli bibit sawit. Selain itu, harga jual kelapa sawit yang terus meningkat juga menjadi faktor penting dalam perkembangan perkebunan sawit rakyat.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, perkebunan sawit rakyat semakin berkembang. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang mendukung pengembangan perkebunan sawit rakyat, seperti memberikan bantuan teknis dan modal kepada petani. Pada tahun 1960-an, perkebunan sawit rakyat sudah menjadi salah satu sektor ekonomi yang penting bagi masyarakat Indonesia.
Namun, pada tahun 1980-an, perkebunan sawit rakyat mengalami masa sulit karena harga jual kelapa sawit yang turun drastis. Banyak petani yang mengalami kerugian dan terpaksa menjual lahan mereka kepada perusahaan besar. Namun, pada tahun 1990-an, harga jual kelapa sawit kembali meningkat dan perkebunan sawit rakyat kembali berkembang.
Saat ini, perkebunan sawit rakyat masih menjadi sektor ekonomi yang penting bagi masyarakat Indonesia. Banyak petani yang mengandalkan perkebunan sawit sebagai sumber penghasilan utama mereka. Namun, perkebunan sawit rakyat juga dihadapkan pada berbagai masalah, seperti perubahan iklim, konflik lahan, dan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga keberlanjutan perkebunan sawit rakyat.