Awalnya semua kegiatan pertanian di Indonesia dianggap sangat ramah lingkungan. Upaya pertanian bangsa Indonesia yang sering disebut dengan istilah ecofarming dikenal sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, memelihara keanekaragaman hayati, dan berbagi kesempatan kerja di antara sesama. Namun, pada akhir abad ke-20, hampir tidak ada lagi upaya pertanian yang ramah lingkungan karena secara teknis lebih merujuk pada kegiatan pertanian dari luar negeri yang beriklim bukan tropika, bukan kepulauan, bukan sumber keanekaragaman, dan semata-mata karena pertimbangan ekonomi yang ekspansif.
Penggunaan irigasi buatan, pupuk dan bahan kimia buatan, serta bibit tanaman buatan; menyebabkan ketergantungan pertanian terhadap minyak dan gas bumi yang sangat tinggi hingga 60%. Selain itu, hal tersebut juga menimbulkan dampak negatif yang serius.
Seiring dengan berjalannya waktu semua upaya buatan tersebut justru menghancurkan siklus ruang dan siklus kehidupan dalam tanah, menurunkan keanekaragaman hayati, serta menghambat peningkatan produktivitas selama waktu yang panjang. Akhirnya, berdampak pada hilangnya semua peluang ekonomi pertanian Indonesia dan runtuhnya kesejahteraan para petani. Dengan demikian, upaya tani di sawah sudah tidak dapat diandalkan. Bahkan, kegagalan panen datang setiap saat, terutama karena serangan hama dan penyimpangan iklim.
Proses Pembuatan
Pembakaran jerami menjadi gas karbondioksida (CO2), perendaman jerami menjadi gas metana (CH4), pembasahan pupuk menjadi gas dinitrogenoksida (N2O), dan penggunaan bahan kimia senyawa halokarbon untuk mencegah hama, semuanya adalah pelepasan gas-gas rumah kaca yang jumlahnya tidak kurang dari 3,6 miliar ton setara CO2 per tahun, penyebab pemanasan bumi yang berujung pada perusakan lahan dan hilangnya daya tahan tanaman.