A. Pemanasan Global dan Dampaknya bagi Kehidupan
Bagi Indonesia dampak pemanasan global yang timbul antara lain kenaikan permukaan air laut sampai 90 cm yang mengakibatkan tenggelamnya sekitar 2.000 pulau, penurunan pH air laut dari 8,2 menjadi 7,8 yang akan menghambat pertumbuhan sampai mematikan biota dan terumbu karang sehingga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi akibat terjadinya penurunan populasi ikan dan hasil laut lainnya. Dampak pada ketahanan pangan akan terjadi akibat menurunnya produktivitas tanaman karena terganggunya akibat perobahan pola presipitasi, penguapan, air limpasan dan kelembaban tanah. Selain itu pemanasan global juga berisiko terjadinya ledakan hama dan penyakit tanaman. Peningkatan suhu Bumi akan menyebabkan curah hujan yang semakin lebat sehingga banjir akan lebih besar .
Dinamika perkembangan OPT sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik dan abiotik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di alam, semua organisme dalam keadaan seimbang, dengan adanya perubahan iklim dan beberapa campur tangan manusia dalam pola budidaya tanaman memengaruhi dinamika perkembangan OPT. Pengaruh perubahan iklim terhadap populasi OPT sulit diprediksi, karena adanya keseimbangan antara OPT dengan tanaman inang (host), serta musuh alaminya.
Penyebab Pemanasan Global Sejumlah bukti baru dan kuat dalam hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa masalah pemanasan global yang terjadi saat ini disebabkan karena tindakan manusia. Dalam era revolusi industri 50 tahun terahir ini penduduk dunia telah menggunakan sekurang-kurangnya lebih dari setengah dari sumber energi yang tak terpulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia. Penggundulan hutan telah menghilangkan kemampuan untuk menyerap emisi karbon sehingga memacu terjadinya perubahan iklim. Sejak Perang Dunia II jumlah kenderaan bermotor di dunia bertambah dari sekitar 40 juta menjadi 680 juta, yang merupakan kontibutor emisi karbon dioksida pada atmosfer. Enam tindakan manusia yang dikenal sebagai “Tragedy of Commons” sebagai penyebab utama perubahan iklim global adalah: (1) Meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfir; (2) Perubahan terhadap siklus bio-kimia global dari nitrogen dan elemen-elemen lainnya, (3) Pembentukan dan pelepasan komponen organik secara terus menerus seperti chlorofluorocarbon; (4) Perubahan besar-besaran dalam tataguna lahan dan vegetasi tutupan permukaan; (5) Perburuan dan perambahan sejumlah besar sumber daya alam dan kehidupan predator dan konsumen; dan (6) Invasi keanekaragaman hayati oleh spesies asing.
B. Dampak Perubahan Iklim terhadap Perkembangan OPT
Dampak perubahan iklim bisa secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi dinamika perkembangan OPT. Peningkatan kejadian iklim ekstrim yang ditandai dengan fenomena banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak pada pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT sehingga berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Pengaruh kejadian iklim ekstrim tersebut seringkali menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman.
Dampak kekeringan akan menyebabkan populasi ulat pemakan daun kelapa sawit seperti ulat api Setothosea asigna dan ulat kantong Mahasena corbetii, juga dapat meningkat karena kondisi kering mendukung perkembangannya. Selain itu, kerusakan kelapa sawit karena hama tikus pada musim kering cukup tinggi dan penyakit busuk pangkal batang Ganoderma boninense cenderung menjadi lebih cepat berkembang.
Gambar 1. (a) Ulat api Setothosea asigna, (b) ulat kantung Mahasena corbetii, dan (c) gejala serangan S. asigna dan M. corbetii
Sumber: PPKS, Medan
Perubahan iklim akibat pemanasan global berperan dalam memicu eksistensi OPT di alam. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT. Perubahan ini dapat memengaruhi status OPT di lapangan. Isu munculnya penyakit Pestalotiopsis sp. pada karet dan hama Pseudotheraptus sp. pada kelapa menjadi contoh OPT yang berkembang akibat adanya peran perubahan iklim global.
Gambar 2. Gejala serangan penyakit Pestalotiopsis sp. pada karet
Sumber: Ditlinbun
Gambar 3. Hama Pseudotheraptus sp. (kiri) dan gejala serangan hama Pseudotheraptus sp. pada kelapa (kanan)
Sumber: Ditlinbun & Balit Palma
Sebaliknya pada musim penghujan serangan penyakit yang disebabkan oleh cendawan lebih dominan, seperti penyakit antraknosa dan bercak daun pada kapas. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan boll busuk sampai kehilangan hasil 70% atau dapat menyebabkan kerugian pada benih rata-rata 45%.
Gambar 4. Gejala Serangan Penyakit Antranoksa pada Kapas
Sumber : Balittas
C. Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Pengelolaan terhadap berbagai perubahan iklim diperlukan untuk mengelola perubahan iklim, dan secara simultan untuk antisipasi yang komfrehensif terhadap dampak perubahan iklim bumi dalam jangka panjang. Perubahan iklim bumi dapat ditanggulangi melalui penyusunan kebijakan adaptasi dan mitigasi. Adaptasi adalah penyesuaian sistem sosial dan alam dalam mengatasi dampak negatif perubahan iklim, sedangkan mitigasi adalah upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosat (penyerap) gas rumah kaca sehingga proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai.
Adaptasi dilakukan melalui pengunaan varietas tanaman yang dianjurkan, seperti tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan kebijakan rotasi penanaman sesuai prakiraan iklim yang berkaitan dengan perubahan iklim tersebut. Pola tanam tumpang sari (intercropping) mempunyai potensi terjadinya gangguan hama yang kompleks. Untuk itu pemilihan jenis tanaman sangat penting, yaitu tanaman yang dipilih bukan merupakan inang alternatif dari hama utama tanaman perkebunan.
Usaha mitigasi dapat dilakukan dengan implementasi pengendalian hama terpadu, melalui: konservasi musuh alami, peningkatan keanekaragaman (diversity) tanaman, mengintensifkan pest surveillance yang berkelanjutan, dan penggunaan pestisida secara selektif. Selain itu, pemanfaatan informasi iklim untuk sistem peringatan dini (Early Warning) dengan menerapkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) atau Sekolah lapang Iklim (SL-Iklim) bagi petani dan kelompok tani.
Dalam mengantisipasi serangan OPT di masa yang akan datang, sistem peringatan dini perlu dibangun. Perlu ditunjang dengan kelembagaan yang tepat dan kuat. Berbagai stakeholder terkait seperti Dirat Perlindungan Perkebunan, Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon, Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota, BMKG, kelompok tani, dan pelaku agribisnis lainnya perlu dilibatkan. Selain itu, penelitian dan pengembangan tentang prediksi iklim serta permodelannya harus terus dilakukan untuk mendukung peningkatan akurasi prediksi serangan OPT di masa yang akan datang.