Talas beneng (Xanthosoma undipes) awalnya tak banyak diketahui oleh orang-orang. Namun, siapa sangka, tanaman umbi ini menjadi salah satu komoditas yang menjanjikan. Bagian yang dapat dimanfaatkan adalah umbi dan daun tanaman. Kedua bagian ini bernilai ekonomi yang cukup menggiurkan.
Gambar 1. Tanaman Talas Beneng
Melansir dari Majalah Trubus Edisi Januari 2022, permintaan daun beneng kering dunia mencapai 100 ton, tetapi yang terpenuhi hanya sekitar 16 ton. Petani umbi beneng baru bisa memenuhi 10 persen dari total permintaan.
Daun beneng kering dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan rokok herbal. Tingginya permintaan daun beneng membuat petani dapat memanen daun saat menantikan waktu panen umbi tiba, yakni setelah 18 bulan pemeliharaan. Menurut petani talas beneng, peluang ekspor talas beneng terbilang bagus, begitu pun dengan harga jualnya. Asalkan, produsen mampu menjaga kualitas produknya.
Saat ini, permintaan umbi talas beneng berasal dari Jepang dan Tiongkok, padahal dahulu banyak yang malu menghadirkan umbi tanaman ini sebagai hidangan untuk para tamu. Hal ini karena umbi beneng merupakan simbol kemiskinan.
Masyarakat mengenal umbi beneng dengan nama koneng-koneng. Umbi ini awalnya hanya terkenal di daerah Pandeglang, Banten. Kini, area budidaya talas beneng sudah meluas sampai ke Kota Padang (Sumatra Barat), Kota Palembang, Bengkulu, Jambi, dan Bangka Belitung.
Negara Jepang dan Tiongkok membutuhkan umbi beneng sebagai bahan baku industri pangan, kosmetik, dan farmasi. Tingginya potensi manfaat umbi talas beneng membuat ceruk pasar umbi ini menjadi sangat besar.
Tingginya nilai ekonomi umbi beneng disebabkan oleh umbi dikemas menjadi produk kreatif. Perjalanan talas beneng yang awalnya dipandang sebelah mata menjadi komoditas yang bernilai ekonomi bisa Anda baca di Majalah Trubus Edisi Januari 2022. Di dalamnya dibahas komoditas-komoditas lainnya yang dinilai memiliki prospektif cerah, mulai dari sorgum, tisane, hingga dendrobium dan satoimo yang merupakan komoditas lawas.